Selasa, 24 April 2012

makalah kelompok tentang karir SPG otomotif

BAB I
PENDAHULUAN
1.1                        Latar Belakang

Pemasaran suatu produk memerlukan beberapa aktivitas yang melibatkan berbagai sumber daya. Sebagai fenomena yang berkembang saat ini, dalam pemasaran terdapat suatu bagian yang memiliki keterkaitan langsung dengan konsumen, yaitu pada bagian sales product. Bagian ini terdiri dari beberapa divisi, terutama yang berkaitan dengan sistem pemasaran yang dilakukan suatu pemasaran.
Sebagai tenaga sales product, saat ini terdapat bagian pemasaran langsung yang menawarkan produk maupun sample product. Bagian ini biasanya dikenal sebagai sales promotion, dan karena adanya karakter gender maka terdapat sales promotion girls dan sales promotion boys.

Seorang SPG harus pandai berkomunikasi dengan pembeli atau pelanggan (customer) agar ia memberikan respon positif pada produk yang kita tawarkan. Ramah, murah senyum, lembut, sabar, sopan dan menjaga emosi, itulah karakter dasar yang harus diterapkan pada seorang SPG. Mengapa  menjaga emosi juga harus diterapkan? Karena customer yang akan dihadapi sangat beraneka ragam. Mulai dari customer yang baik, lembut, cerewet, hingga super judes. Penawaran produk biasa dilakukan dengan cara mobile atau berkeliling di wilayah event yang sedang diadakan.

Terkadang ada beberapa SPG nakal yang mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar, SPG yang terbawa arus pergaulan bebas. SPG yang seperti inilah yang membuat citra para SPG lainnya menjadi buruk dan dipandang rendah. Tapi tidak semua SPG seperti itu, ada SPG yang tidak pernah melupakan kewajibannya untuk sholat, jujur dan bertanggung jawab dengan pekerjaannya.

Pada penelitian ini akan dilakukan suatu analisis terhadap jenjang karir profesi SPG ( Sales promotion Girl ) Otomotif ( motor )

1.2 Rumusan Masalah

Adapun identifikasi masalah dari penelitian ini adalah :
a. Apa sajakah kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang SPG otomotif
b. Bagaimana sistem ketenaga kerjaan SPG otomotif
c. Apa sajakah manfaat yang diperoleh mereka selama menjadi SPG otomotif
d.Bagaimana jenjang karier yang diharapkan sebagai SPG otomotif
e. Faktor apakah yang membuat mereka ingin bekerja sebagai SPG otomotif

1.3  Tujuan

Adapun identifikasi masalah dari penelitian ini adalah :
a.Untuk mengetahui kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang SPG otomotif
b.Untuk mengetahui sistem ketenaga kerjaan SPG otomotif
c.Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh mereka selama menjadi SPG otomotif
d.Untuk mengetahui jenjang karier yang diharapkan sebagai SPG otomotif
e.Untuk mengetahui Faktor yang membuat mereka ingin bekerja sebagai SPG otomotif

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Management Karier

Manajemen karir mencakup berbagai konsep yang sampai saat ini masih sering diperdebatkan definisinya. Meskipun demikian kita perlu mengetahui dan memahami definisi berbagai konsep yang berhubungan dengan manajemen kerier, agar kita mamiliki pemahaman yang lebih baik tentang manajemen karir. Dalam hal ini, ada beberapa kata kunci yang perlu dijelaskan, yaitu :

  1. 1.      Karir
Para pakar lebih sering mendefinisikan karir sebagai proses suatu konsep yang tidak statis dan final. Mereka cenderung mendefinisikan karir sebagai “perjalanan pekerjaan seorang pegawai di dalam organisasi”. Perjalanan ini dimulai sejak ia diterima sebagai pegawai baru, dan berakhir pada saat ia tidak bekerja lagi dalam organisasi tersebut.
Haneman et al. (1983) mengatakan bahwa “Perjalanan karir seorang pegawai dimulai pada saat ia menerima pekerjaan di suatu organisasi. Perjalanan karir ini mungkin akan berlangsung beberapa jam saja atau beberapa hari, atau mungkin berlanjut sampai 30 atau 40 tahun kemudian. Perjalanan karir ini mungkin berlangsung di satu pekerjaan di satu lokasi, atau melibatkan serentetan pekerjaan yang tersebar di seluruh negeri atau bahkan di seluruh dunia”.
Konsep karir adalah konsep yang netral (tidak berkonotasi positif atau negatif). Karena itu karir ada yang baik, ada pula karir yang buruk. Ada perjalanan karir yang lambat, ada pula yang cepat. Tetapi, tentu saja semua orang mendambakan memiliki karir yang baik dan bila mungkin bergulir dengan cepat.
Karir dapat diletakkan dalam konteks organisasi secara formal, tetapi karir dapat pula diletakkan dalam konteks yang lebih longgar dan tidak formal. Dalam kaitan arti yang terakhir ini, kita biasa mengatakan, misalnya, “karir si A sebagai pelukis cukup baik” dan si B mengakhiri karirnya di bidang politik secara baik”, dan sebagainya.
Apapun artinya, karir amatlah penting bagi pegawai maupun bagi organisasi. Menurut Walker (1980), bagi pegawai, karir bahkan dianggap lebih penting dari pada pekerjaan itu sendiri. Seorang pegawai bisa meninggalkan pekerjaannya jika merasa prospek keriernya buruk. Sebaliknya, pegawai mungkin akan tetap rela bekerja di pekerjaan yang tidak disukainya asal ia tahu ia mempunyai prospek cerah dalam karirnya.
Sebaliknya, bagi organisasi, kejelasan perencanaan dan pengembangan karir pegawai akan membawa manfaat langsung terhadap efisiensi manajemen. Dikemukakan oleh Walker (1980) bahwa turn over pegawai cenderung lebih kecil di perusahaan-perusahaan yang sangat memperhatikan pengembangan karir pegawainya. Di samping itu, penanganan karir yang baik oleh organisasi akan mengurangi tingkah frustasi yang dialami oleh pegawai serta meningkatkan motivasi kerja mereka. Oleh karena itu, manajemen karir bukan hanya menjadi kewajiban bagi organisasi, tetapi juga merupakan kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

  1. 2.      Jalur Karir
Jalur karir adalah pola urutan pekerjaan (Pattern of Work Sequence) yang harus dilalui pegawai untuk mencapai suatu tujuan karir. Tersirat di sini, jalur karir selalu bersifat formal, dan ditentukan oleh organisasi (bukan oleh pegawai).
Jalur karir selalu bersifat ideal dan normatif. Artinya dengan asumsi setiap pegawai mempunyai kesempatan yang sama dengan pegawai lain, maka setiap pegawai mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai tujuan karir tertentu. Meskipun demikian, kenyataan sehari-hari tidak selalu ideal seperti ini. Ada pegawai yang bagus karirnya, ada pula pegawai yang mempunyai karir buruk meskipun prestasi kerja yang ditunjukkannya bagus.
Dalam organisasi yang baik dan mapan, jalur karir pegawai selalu jelas dan eksplisit, baik titik-titik karir yang dilalui maupun persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan karir tertentu. Di lingkungan pegawai negeri, misalnya, dikenal jalur karir sruktural dan fungsional. Seorang dosen di perguruan tinggi, sebagai ilustrasi, boleh meniti karir di bidang struktural, boleh juga di bidang fungsional. Secara struktural, ia boleh menjadikan ketua jurusan, ketua program, pembantu dekan, dekan, pembantu rektor, dan bahkan rektor.
Namun, kalaupun ia tidak menuduki jabatan struktural tertentu, dosen tersebut masih mempunyai kesempatan untuk meniti karir di jalur fungsional, dari Asisten Ahli sampai ke tingkat tertinggi yaitu Guru Besar. Dalam hal ini, persyaratan untuk naik ke jabatan struktural tertentu atau ke jenjang fungsional tertentu telah ditentukan dengan jelas dan bahkan dilengkapi dengan ukuran-ukuran kuantitatif (cumulativ credit point, CCP).
  1. 3.      Tujuan Karir
Tujuan atau sasaran karir adalah posisi atau jabatan tertentu yang dapat dicapai oleh seorang pegawai bila yang bersangkutan memenuhi semua syarat dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk melaksanakan jabatan tersebut.
Yang penting dicatat, tujuan atau sasaran karir tidak otomatis tercapai bila seorang pegawai memenuhi semua syarat yang harus dipenuhi. Misalnya seorang kepala subagian tidak otomatis menjadi kepala bagian meskipun ia telah memenuhi syarat untuk menjadi kepala bagian. Untuk menjadi kepala bagian, ia harus memenuhi syarat-syarat yang seringkali di luar kekuasaannya, misalnya ada tidaknya lowongan jabatan kepala bagian, keputusan dan preferensi pimpinan, adanya kandidat lain yang sama kualitasnya, dan sebagainya.
  1. 4.      Perencanaan Karir
Perencanaan karir adalah salah satu fungsi manajemen karir. Perencanaan karir adalah perencanaan yang dilakukan baik oleh individu pegawai maupun oleh organisasi berkenaan dengan karir pegawai, terutama mengenai persiapan yang harus dipenuhi seorang pegawai untuk mencapai tujuan karir tertentu.

  1. 5.      Pengembangan Karir
Pengembangan karir adalah salah satu fungsi manajemen karir. Pengembangan karir adalah proses mengidentifikasi potensi karir pegawai, dan materi serta menerapkan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan potensi tersebut.
Secara umum, proses pengembangan karir dimulai dengan mengevaluasi kinerja pegawai. Proses ini lazim disebut sebagai penilaian kinerja (performance appraisal). Dari hasil penelitian kinerja ini kita mendapatkan masukan yang menggambarkan profil kemampuan pegawai (baik potensinya maupun kinerja aktualnya). Dari masukan inilah kita mengidentifikasi berbagai metode untuk mengembangkan potensi yang bersangkutan.
  1. 6.      Manajemen Karir
Manajemen karir adalah proses pengelolaan karir pegawai yang meliputi tahapan kegiatan perencanaan karir, pengembangan dan konseling karir, serta pengambilan keputusan karir.
Manajemen karir melibatkan semua pihak termasuk pegawai yang bersangkutan dengan unit tempat si pegawai bekerja, dan organisasi secara keseluruhan. Oleh karena itu manajemen karir mencakup area kegiatan yang sangat luas.
  1. 7.      Konseling Karir
Konseling karir adalah proses mengidentifikasi masalah-masalah yang berhubungan dengan karir seorang pegawai serta mencari alternatif jalan keluar dari berbagai masalah tersebut. Dalam organisasi, terdapat berbagai masalah yang berhubungan dengan karir pegawai. Ada yang tidak terlampau serius sehingga dapat dipecahkan dalam tempo relatif cepat. Ada pula yang sangat serius sehingga mengganggu pekerjaan si pegawai sendiri maupun pekerjaan rekan sekerja lainnya. Dalam keadaan seperti ini, konseling karir sangat diperlukan, baik oleh pegawai maupun oleh organisasi. Bahkan organisasi yang cukup besar seringkali merasa perlu mempekerjakan seorang pakar (konselor) yang khusus menangani masalah-masalah karir ini.


BAB III
METEDOLOGI PENELITIAN

Metode untuk pengmabilandata ini dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang objeknya merupakan SPG Otomotif yang sedang pameran di sebuah mal-mal.

KUISIONER

Responden yang terhormat, kami adalah mahasiswa Universitas Narotama Surabaya Program Management yang sedang mengadakan penelitian tentang jenjang karier Anda sebagai SPG saat ini. Dengan ini kami mohon kerja samanya dengan mengisi kuisioner kami sebagai berikut :
Nama                             : ……………………………………
Umur                             : ……………………………………
Pendidikan Terakhir       : ……………………………………
Pekerjaan                       : ……………………………………
  1. Berapa lama bekerja menjadi SPG di Perusahaan Anda?
………………………………………………………………………………………

  1. Sebutkan pengalaman kerja Anda menjadi SPG apa saja?
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

  1. Perlukah SPG mengusai product knowledge?
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

  1. Bagaimana rencana untuk jenjang karier Anda kedepan?
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

  1. Adakah kejelasan jenjang karier pada pekerjaan Anda sekarang?
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

  1. Apakah gaji saat ini yang diterima sesuai dengan yang diharapkan?
………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………

  1. Apakah pekerjaan Anda saat ini menggunakan system kontrak?
………………………………………………………………………………………


Terima kasih banyak atas partisipasi Anda telah meluangkan waktu untuk mengisi kuisioner ini


Dari kuisioner sebanyak 20 lembar yang kami sebarkan kepada Responden maka mendapatkan hasil sebagai berikut :

3.1 Usia Responden

No
Usia
Jumlah (orang)
1 <20 tahun
3
2 >20 tahun
15
3 >30tahun
2
  Total
20
Dari hasil tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa untuk usia SPG otomotif yang produktif adalah lebih dari 20 tahun dan tidak sampai melebihi 30 tahun.

3.2 Pendidikan
No
Pendidikan terakhir
Jumlah (orang)
1 SD
-
2 SLTP/ Sederajat
-
3 SLTA/ Sederajat
12
4 Diploma/ Akademi
-
5 Sarjana Strata 1 (S1)
8
  Total
20
Dari tabel diatas pendidikan terakhir untuk SPG Otomitif 12 orang yang lulus SLTA/ Sederajat yang langsung bekerja menjadi SPG dan 8 orang masih menempuh pendidikan S1 yang memiliki kerja sambilan sebagai SPG.

3.3 Waktu bekerja menjadi SPG Otomotif

SPG Otomitif yang berada di mal-mal atau saat sedang ada event berlangsung mengatakan bahwa waktu yang di tempuh untuk bekerja tidak seberapa lama hanya sekitar kurang lebih 6 jam dan jangka waktu bekerja 1-3 bulan saja.

3.4 Pengalaman SPG

Bukan rahasia umum lagi kalau imange SPG sudah dikenal negative, banyak pengalaman dari mereka yang digoda om-om hidung belang dan juga sering di jamu oleh customer untuk pendekatan agar beliau membeli product yang ditawarkannya.

3.5 Penguasaan Product Knowladge

Kebanyakan dari SPG event Otomotif hanya menguasai product yang dijualnya, mereka hanya bisa bernegosiasa atau merayu pelanggannya agar tertarik membeli.

3.6 Jenjang Karier

Untuk jenjang karier SPG event Otomotif banyak yang mengatakan bahwa itu hanya sambilan saja karena tidak mempunyai angan-angan jenjang karier yang lebih tinggi. Dan untuk kejelasan jenjang karier hanyalah pada saat ada event lagi mereka akan dihubungi perusahaan yang bersangkutan agar tetap menjadi SPG.
3.7 Gaji

Dalam hal ini bervariatif karena salary yang ditawarkan kepada SPG Otomitif event hanya pershif/perjam dan juga mungkin saat dapat menjualkan productnya akan mendapatkan fee atau bonus tersendiri dari perjanjian kerjanya.

3.8 Sistem Pekerjaan

Sistem pekerjaan SPG Otomotif event ini adalah kebanyakan sistem kontrak karena hanya digunakan beberapa bulan saja saat ada event atau pameran yang ada diberbagai tempat.



BAB IV
HASIL DARI PEMBAHASAN


4.1. Apa sajakah kemampuan yang harus dimiliki untuk menjadi seorang SPG otomotif
  • menguasai product knowledge dari barang yang mereka jual
  • mampu memikat konsumen sehingga tertarik untuk membeli produk mereka
  • mempunyai skill komunikasi dan menjual yang baik
  • · Good attitude
4.2. Bagaimana sistem ketenaga kerjaan SPG otomotif
Sistem ketenaga kerjaan SPG Otomotif kebanyakan merupakan sistem kontrak
4.3. Apa sajakah manfaat yang diperoleh mereka selama menjadi SPG otomotif
- mengetahui banyak tipe – tipe konsumen
- banyak channel atau relasi
- mengasah ilmu marketing
4.4. Bagaimana jenjang karier yang diharapkan sebagai SPG otomotif
Untuk jenjang karier SPG event Otomotif banyak yang mengatakan bahwa itu hanya sambilan saja karena tidak mempunyai angan-angan jenjang karier yang lebih tinggi. Dan untuk kejelasan jenjang karier hanyalah pada saat ada event lagi mereka akan dihubungi perusahaan yang bersangkutan agar tetap menjadi SPG.
4.5. Faktor apakah yang membuat mereka ingin bekerja sebagai SPG otomotif
- Fisik yang mendukung
- Tidak punya keahlian atau skill lain
- Memanfaatkan peluang yang ada
- Kesempatan menambah relasi untuk bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik
- Pengalaman selling

Senin, 02 April 2012

My work experience since graduating smk

Worked in the bakery shop
July 2008 - July 2008 (only 2 weeks)
job description
-serving customers
-create a sales report

Working in the internet cafe as the operator
september 2008  - January 2010
job description
-to serve customers
-create revenue recap
-create reports earnings cafe

Work in telecom group dealer (PT GCI) as the administrative staff
January 2010 - present
job description:
-audit branch office
- make management
cluster report  for PT Telkom from AD
- make the bill  fee for telkom flexi, Telkomsel and yes tv
-reviewing reports from the branch office cash disbursements
-stock holding mobile phone

terjemahan 


           bekerja di toko roti
bulan juli 2008 – juli 2008 ( hanya 2 minggu )
deskripsi pekerjaan :    
-melayani pembeli
-membuat laporan penjualan

       bekerja di warnet sebagai operator
bulan september2008 – januari 2010
deskripsi pekerjaan : 
-melayani pelanggan
-membuat rekap pendapatan
-membuat laporan pendapatan cafe

      bekerja di dealer telkom group ( PT. GCI ) sebagai staff administrasi
bulan januari 2010 – sekarang
deskripsi pekerjaan : 
-audit kantor cabang
-mengerjakan laporan management cluster dari AD untuk telkom
-membuat tagihan – tagihan fee untuk telkom flexi, telkomsel dan yes tv
-memeriksa laporan pengeluaran kas kantor cabang       
-memegang stok handphone


Senin, 05 Maret 2012

tugas bu ayu " manajemen karir"


Tugas Visi Karier :
What am i gonna be ??
Pada usia 30 tahun saya menargetkan diri saya paling tidak sudah berada dalam posisi supervisor di salah satu perusahaan besar baik BUMN ataupun Persero Tbk. Selain itu, dalam usia tersebut paling tidak saya harus mempunyai  satu usaha, minimal counter pulsa dengan 4 karyawan, selain itu saya juga ingin mempunyai usaha lain seperti butik dan restoran untuk kalangan menengah. Dan pada usia 45 tahun saya sudah ingin pensiun untuk bekerja di perusahaan milik BUMN maupun milik swasta. Saya ingin lebih konsen mengelola usaha saya sehingga usaha saya dapat berkembang dengan baik dan saya juga akan memperluas usaha saya

Minggu, 01 Januari 2012

UAS ETIKA BISNIS

COVER BUKU






Bisnis dan Etika Profesional bagi Direksi, Eksekutif, dan Akuntan oleh Leonard J. Brooks

 file terjemahan bab 1

Rangkuman Bab I :
BAB I
ETIKA HARAPAN

BAB I
ETIKA HARAPAN
       Selama dua puluh lima tahun terakhir, telah ada harapan meningkat bahwa bisnis ada untuk melayani kebutuhan para pemegang saham dan masyarakat. Dukungan untuk bisnis bisnis-dan secara umum-tergantung pada kredibilitas yang stakeholder tempat di komitmen perusahaan, reputasi perusahaan, dan kekuatan yang keunggulan kompetitif. Akibatnya, direktur perusahaan sekarang diharapkan untuk mengatur perusahaan mereka etis, yang berarti bahwa mereka melihat bahwa mereka eksekutif, karyawan, dan agen bertindak secara etis.
              Mandat Baru untuk Bisnis Perubahan dalam ekspektasi publik telah dipicu, pada gilirannya, sebuah evolusi dalam mandat untuk bisnis: laissez-faire, laba-hanya dunia Milton Friedman telah memberikan cara untuk pandangan bahwa bisnis ada untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya.  Jika tujuan etis dan ekonomi tidak dapat diintegrasikan atau seimbang dengan sukses, dan kepentingan pemegang saham terus mendominasi tidak masuk akal orang-orang dari pemangku kepentingan, ketegangan antara bisnis dan stakeholder masyarakat akan terus tumbuh.
        Tren penting lainnya dikembangkan sebagai hasil dari tekanan ekonomi dan kompetitif yang telah dan terus memiliki efek pada etika bisnis, dan oleh karena itu pada akuntan profesional. Kecenderungan ini termasuk: | memperluas pertanggungjawaban hukum atas direktur perusahaan, | pernyataan manajemen kepada pemegang saham pada kecukupan pengendalian internal, dan | menyatakan niat untuk mengelola risiko dan melindungi reputasi, Sebagai hasil dari tren dan perubahan, perusahaan mulai mengambil minat yang lebih besar dalam bagaimana etika kegiatan mereka, dan bagaimana memastikan bahwa masalah-masalah etis tidak muncul.
     Akuntan profesional berutang kesetiaan utama mereka untuk kepentingan publik, tidak hanya untuk kepentingan mereka sendiri keuangan, direktur perusahaan atau manajemen, atau saat ini pemegang saham dengan mengorbankan para pemegang saham di masa depan. Reformasi, melalui peraturan baru dan struktur pengawasan, dan standar internasional harmonis pengungkapan dan kode etik yang direvisi mendedikasikan kembali profesi akuntansi ke akar aslinya fidusia, telah menjadi restoratif yang diperlukan yang akan mempengaruhi perilaku profesional akuntansi di Seluruh Dunia.Akuntan profesional harus memastikan bahwa nilai-nilai etika mereka saat ini dan bahwa mereka siap untuk bertindak pada mereka untuk melaksanakan peran mereka yang terbaik dan untuk menjaga kredibilitas, dan dukungan untuk, profesi.
       Dampak meningkatkan harapan untuk bisnis pada umumnya, dan untuk direktur, eksekutif, dan akuntan khususnya, telah membawa tuntutan reformasi pemerintahan, pengambilan keputusan etis, dan manajemen yang akan mendapat manfaat dari terdepan berpikir tentang bagaimana mengelola risiko etika dan peluang

BAB II
Reformasi Tata Pemerintahan dan Akuntabilitas

Guncangan besar dihasilkan beberapa krisis kepercayaan investor pada perusahaan dan
etika profesional yang mendukung nilai-nilai Amerika Utara pasar modal dan
percaya yang memungkinkan perdagangan modern. dan para pemimpin di seluruh dunia
memanggil untuk jawaban dan solusi untuk memastikan kepatuhan dengan nilai wajar yang publik dapat dukungan dan kepentingan publik menuntut. Pada akhirnya, perusahaan pemerintahan dan profesi akuntansi yang ditampilkan perlu reformasi untuk mengembalikan  kepercayaan dan kredibilitas diperlukan untuk pasar keuangan untuk bekerja secara efektif. Pada pertengahan Oktober 2001, disajikan kembali kebanggaan raksasa Enron laba dimanipulasi, dan  pada 2 Desember bangkrut, menghancurkan nilai-miliaran terutama pensiun investasi-dalam proses. Di tengah kisah-kisah palsu besar
dan penipuan pernyataan transaksi, menjadi jelas bahwa para eksekutif senior
memperkaya diri mereka sendiri melampaui keyakinan sementara direksi dan Arthur
tampaknya tidak menyadari atau lebih buruk. mengklaim kenangan buruk, kebodohan, atau Amandemen Kelima di depan


Etika Lingkungan

Senat dan komite Kongres. Pemerintah dan SEC tampak bingung
 untuk menangani situasi. Cerita juga mulai muncul ke permukaan tentang, terang-terangan diri tertarik, dan tampaknya di wajah Anda merobek-robek dokumen Enron audit oleh Arthur Andersen yang pada akhirnya diproduksi biaya pada tanggal 7 Maret, 2002 dan, setelah musyawarah juri berlarut-larut, suatu obstruksi keyakinan keadilan pada tanggal 15 Juni 2002. Selama periode dari Oktober 2001 sampai Juni 2002, basis klien Arthur Andersen dan praktek hancur.
EES kehilangan pekerjaan mereka karena keputusan mungkin kurang dari 100 rekan.
Akhirnya, pada 25 Juni ketika Senat dan Kongres dengar pendapat dengan baik bersama dan beberapa perubahan pemerintahan mulai dipertimbangkan, datanglah luar biasa
momok raksasa WorldCom juga menerapkan perlindungan kebangkrutan. Ketika
diketahui bahwa eksekutif telah kembali dimanipulasi keuntungan melalui akuntansi
shenanigans dan CEO pada intinya dipinjamkan dirinya lebih dari $ 400 juta tanpa
pengawasan yang jelas dari papan, Kongres dan Senat yang galvanis oleh
tumbuh kemarahan publik untuk menghasilkan Sarbanes-Oxley Act (SOX) pada tanggal 30 Juli 2002. SOX menyediakan kerangka kerja untuk reformasi sistem tata kelola perusahaan berdasarkan pada integritas dan akuntabilitas, dan untuk profesi akuntansi berdasarkan kemerdekaan- kemandirian dan kewajiban fidusia dengan kepentingan publik. Ketentuan SOX akan diamati oleh pendaftar US SEC, dan mungkin oleh perusahaan terbesar di dunia yang ingin akses ke pasar modal AS dan auditor mereka.
Dunia tata kelola perusahaan, tata kelola profesi akuntansi, dan etika bisnis telah memasuki waktu maju-cepat. Memahami apa yang terjadi dan mengapa, dan apa dampaknya akan berada di perusahaan, yang profesi akuntansi, dan pada etika bisnis akan membantu dalam menafsirkan dan perencanaan untuk perkembangan masa depan. bencana 

Latar belakang

Dengan melihat ke belakang, kebanyakan pengamat setuju bahwa masalah Enron yang disebabkan oleh kegagalan dewan direksi untuk melakukan pengawasan yang memadai. ini memungkinkan para penyalahgunaan entitas tujuan khusus (SPE), suatu bentuk kemitraan, untuk memanipulasi Kemarahan publik tumbuh, dan kredibilitas pemerintahan jatu.

Kamis, 08 Desember 2011

TUGAS KELOMPOK JURNAL

International Review of Business Research Papers
Vol.4.No.5. October-November2008 Pp.147-156
Ethics and Accounting Profession: An
Exploratory Study of Accounting
Students in Post Secondary
Institutions


Field of Research: Business Ethics
Introduction
Well-known scandals of one of the major leading accounting firms in the United States Arthur Andersen coupled with alleged unethical acts committed by Enron, Adelphia Communications, Dynegy, WorldCom,
and Tyco have arouse the conscious of the public and stakeholders as to the moral decline and unethical posture of public accountants unveiled a decline in moral reasoning and ethical standards of public accountants (Dellaportas, 2006; Esmond-Kiger, 2004). The result of unethical conduct among public accountants has necessitated a change in the manner of responsibility for improving the quality of education in the accounting curriculum (Desplaces, Melchar, Beauvais, & Bosco, 2007).


Koumbiadis & Okpara
An investigation on this topic revealed that little research has been conducted on this issue and none at all on the ethical perceptions of accounting students concerning the new mandated changes in the accounting curriculum by the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) (Taylor & Rudnick,
2005; Ritter, 2006). Revisions in the accounting curriculum mandated by the (AICPA) added the 150- credit rule which has been adopted by 43 states in America (Taylor & Rudnick,2005). The 150-hour rule requires students to complete 150-credit hours in order to sit for the Certified Public Accountant (CPA) exam. This rule has raised concerns regarding the effectiveness and need of the curriculum change by the
AICPA (Bierstaker, Howe, & Seol, 2005). The AICPA’s overall goal was to improve the quality of work performed by public accountants since the business environment is frequently changing and the demand for ethical accounting, auditing, and assurance services in financial reporting are performed. Similarly, the decline in ethical behavior of some key auditors and executives of public corporation’s financial reporting led Congress to pass the 2002 Sarbanes-Oxley Act. Important to the establishment Sarbanes-Oxley was the creation of the Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) to protect investors and restore the public’s confidence in the CPA. The PCAOB assigned auditors to combat unethical behaviors of corporate offices that commit fraud (Coates,2007).
In view of the changes by both Congress and the AICPA, there is growing concern to understand the perceptions of accounting students regarding this new requirement imposed by AICPA (Reckers, 2006). The purpose of this research therefore, is to examine the perception of ethical reasoning among accounting
students in the 150-credit program compared to the past 120-125 semester hours. This research will use the stages of the theory of cognitive moral reasoning and moral development by Kohlberg (1969) as a foundation for this research. The researcher will describe each stage and show its relationship to
students’ development and moral reasoning. Based on Kohlberg’s (1976) theory of cognitive moral reasoning and moral development the author explores the current accounting curriculum in post secondary institutions and their influence on moral reasoning.
Ethical lapses among public accountants have necessitated a revision of the accounting curriculum (Earley & Kelly, 2004). Interestingly, students who are enrolled as accounting majors are faced with new challenges within the profession as a result of the debacles of large corporations (Puxty, Sikka, & Willmott, 1994). The challenges are in ethics, educational requirements, compliance with the 2002 Sarbanes-Oxley Act, and professional responsibility with the profession of accountancy (Malone, 2006). According to Koestenbaum,
Keys, and Weirich (2005), “business leaders are products of business schools which often teach that money always comes before ethics.” (p.13) Studies have shown that the labor and capital markets today for accounting students who aspire to become CPA’s places more demands on the profession as a result of

unethical behavior by public corporations (Harrington & Moussalli, 2005). In addition, Koestenbaum, et al (2005), report that “current lack of confidence in financial reporting has been a contributing factor to the recent slowdown in U.S. capital markets” (p. 13). Consequently, recent government intervention and
regulation have led to the creation and legislation of the 2002 Sarbanes-Oxley Act to address the critical ramifications of unethical behavior in financial reporting by corporations and independent accountants (Koestenbaum, et al, 2005;Cunningham, 2006). The Act enables the Securities and Exchange Commission
(SEC) to enforce new rulings for publicly held corporations that will comply withthe 2002 Sarbanes-Oxley Act. The Act includes 11 titles that represent new requirements for how publicly held corporations report financial statements. The first title of the 2002 Sarbanes-Oxley Act was the formation of the PCAOB.
The mission of the PCAOB is to oversee CPA’s engaged in the auditing of financial reports of public companies to ensure against unethical behavior in misrepresenting financial information (Whitley, 2006; Coates, 2007). The misrepresentation of the financial reports of the past unethical misconducts of
several CPA’s produced a lack of confidence in the CPA by the public, investors, and the economy as a whole (Rau & Weber, 2004).Therefore, the mission of PCAOB is to restore public confidence in the CPA (Carmichael, 2004). While research on evaluating ethical perceptions of individuals has been conducted in
the pass (Kohlberg, 1967; Rest, 1970; Victor & Cullen, 1989) there has been little research on the perceptions of ethics among accounting students who completed the 150 credit rule whether pursing a masters degree or an additional 30 credits. Therefore, there is a growing concern as to whether the mandated change by the AICPA in the accounting curriculum has influenced the ethical perceptions of
accounting majors.
This study will allow the author to evaluate the perception of ethical behavior among students in the 5-year accounting program and their view on the accounting profession in the 21st century and beyond. This study explores the stages of the theory of moral development by Kohlberg (1969) and relates each stage that leads to students progressing in his or her moral reasoning. Kohlberg’s (1969) work on moral development was motivated by psychologist Jean Piaget; famous for his work on cognitive development. Kohlberg (1968) expounded on Piaget’s research by presenting a sequence of stages that shape individuals conscience from adolescents into adulthood. Based on Kohlberg’s (1968) theory of moral development the author explores the current accounting curriculum in post secondary institutions and their influence on moral reasoning. Recently, changes in the educational requirements for accounting students who wish to sit for the CPA exam must now have 150 semester hours compare to the pass 120 semester hours (Read, Raghunandan, & Brown, 2001). Included in the 150 semester hours are a set of courses, which combine professional ethics and professional responsibility. According to Jones (2004), “professional ethics are the moral values that a group of people uses to control the way they perform a task or use resources.” (p. 48). One of the objectives set fourth by the American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), which maintains and makes a mandatory code of professional conduct for public accountants, was to enlarge

the educational requirements. The AICPA’s overall goal is to improve the quality of work performed by public accountants since the business environment is frequently changing and the demand for accounting and assurance services. Therefore, the purpose of this study was to evaluate the perception of ethical behavior among students in the 5-year accounting program.

Research Questions
1. To what extent are the perceptions of entry level accounting students in line with Kohlberg’s Theory of  Moral Development?
2. Has the AICPA mandated curriculum change impacted the ethical perceptions of accounting students?

Literature Review
Several studies have emerged on accounting students and their perception of ethical behavior and their ability to reason morally and ethically amid corporate scandals. Malone (2006) performed a study that measured the ethical attitudes of accounting students in an environment that was familiar to the student. Malone (2006) surveyed students using the Defining Issues Test (DIT) (Rest, 1986) instrument to measure the stages of moral development. Result of the study found that if harm were to come to themselves and others most students would not capitulate to unethical behavior. Notably, findings suggested that moral behavior of college students today will continue in the future when employed. Kohlberg’s (1969) research on cognitive moral development was measured in a series of stages that begins from adolescence to adulthood. He explained how people’s ability to reason in society was carried out by interacting with one’s surroundings. He illustrated that ethics and moral reasoning are learned early in life and progress gradually as people develop into adulthood. According to Rest, Elliot, Kohlberg (1969) there are six stages of moral development:
1. Stage one which is obedience and punishment orientation.
2. Stage two is naively egoistic orientation.
3. Stage three is good boy orientation, orientation to approval and to pleasing and helping others.
4. Stage four is related to authority and social order maintaining orientation, orientation to "doing duty" and to showing respect for authority and maintaining the given social order for its own sake.

5. Stage five is contractual legalistic orientation, duty defined in terms of contract, general avoidance of violation of the will or rights of others, and majority will and welfare, and
6. Stage sixth is conscience or principle orientation, orientation not only to actually ordained social rules but to principles of choice involving appeal to logical universality and consistency (Kohlberg, 1969).

Rest et al., (1986) noted that the “six stages are viewed as forming an invariant developmental sequence in which attainment of an advanced stage is dependent on the attainment of each of the preceding stages.” (p.226). Based on Kohlberg’s theory of Cognitive Moral Reasoning, Victor and Cullen (1988) used a different approach to measure reasoning by examining the organization’s ethical climate. In the case that involved Enron, Kelly and Early (2003) indicated that “negative aspects of the ethical climate or culture within Andersen played a pivotal role in its demise” (p. 12). Additional evidence reveals that a company’s ability to maintain an ethical corporate culture is important to the attraction, productivity and retention of employees as well as the organization’s customers. “Accountants violations have led to government intervention, and lost of the public’s trust” (Chan, Leung, 2006, p. 436).
The Ethical Climate Questionnaire (ECQ) employs a two dimensional approach that recognize ethical climates internal to an organization. The first dimension is characterized by the ethical criteria that consist of self in egoism, benevolence, and principle used within an organization. The second dimension corresponds to
the Locus of Analysis, which is shown in Figure 1, and defined by Victor and Cullen (1988) as “a referent group that identify the source of moral reasoning used for applying ethical reasoning to organizational decisions” (p. 105). Unethical practices will affect businesses in several ways. First, consumers tend to shy away from products and services from organizations with unethical reputations (Gilbert, 2003; Babin et al., 2004; Roman & Ruiz, 2005); affecting current and future business hurting the value of the organization. Second, some unethical practices are also illegal or fraudulent, consequently increasing the organization’s financial risk, liability, and costs (Neese et al., 2005). Third, unethical climate has a pervasive effect on employees via high levels of workplace stress, lower job satisfaction, low performance, and high turnover
(Weeks & Nantel, 2004).
Dellaportas (2006) contends that accounting students may reason more ethically through intervention on a course dedicated on accounting ethics. Results of Dellaportas’ study reveal that accounting students through intervention respond more positively to moral reasoning using a series of dilemma questions base on Kohlberg’s theory of moral development. Furthermore, the awareness of moral reasoning may be stimulated by curriculum and is therefore encouraged. In a comparative study done by Venezia (2005), indicated that ethical reasoning abilities of accounting students depend on the cultural orientation of the student. Venezia (2005) findings are in line with the results of Pitta et al., (1999) which stated that national culture shapes the foundation of ethical behavior of accounting student surveyed in their study. Venezia surveyed students using the Defining Issues Test (DIT) instrument to compare accounting students from Taiwan to the United States and determine whether culture plays an important role on moral development. Results of Venezia’s study show a significant difference between the U.S. and Taiwanese accounting students ethical reasoning abilities.
In addition, Clikeman (2003) discusses the importance of accounting educators to promote ethical standards to accounting students. Clikeman’s (2003) stated the idea that accounting students with ethical standards will prevent future accounting scandals. Clikeman’s research suggests that, “accounting education does influence students’ professional attitudes” (Clikeman, 2003, p80.) This assertion was a result of a he and a colleague conducted in 2000 using a sample of 164 accounting students enrolled in Southern Methodist University.

Methodology
Research Hypothesis
1. Ho1 Students that have not taken the AICPA mandated curriculum exhibit different ethical perceptions
2. H1Students that have taken the AICPA mandated curriculum exhibitdifferent ethical perceptions

Research Instrument
A questionnaire adapted from Kohlberg’s Theory of Moral Development of contained three scenarios consisting of several questions on ethical reasoning was distributed to students enrolled in accounting courses at private and public universities in New York City. The instrument used was Victor and Cullen’s Ethical Climate Questionnaire (ECQ), which was adapted from the six stages in Kohlberg’s theory on moral development. Subjects were randomly selected from an attendance roster of private and public universities. The questionnaires were administrated during class time and took approximately 20 minutes to complete.

Data Collection
The next set of questions asked the participants to read a scenario regarding coworkers who frequently remove resources (e.g., stationary, pens, etc.) from the office for their own personal use. The participant’s responded by indicating either “yes” or “no” and asked whether they would confront or avoid the individual. The choices included, a) should rules be broken, b) the distinction between what should be done as part of your job or what you know your peers feel you should do, and c) what is your overall attitude on unethical behavior. The last part of the questions used a Likert scale ranging from strongly unfavorable to the concept (1) to strongly favorable to the concept (5). The 125 participants were asked to focus on what suggestions can be made by several recommendations on how to decrease unethical behavior among peers and fraudulent reporting. The choices comprise of a) documenting the findings, b) meet with a manager, c) assemble and collect all pertinent documents, and d) do nothing. The lead author conducted the survey in the distribution of the instrument in both private and public universities. Out of the 300 surveys administered, a total of 180 indicated an interest to respond. A total of 23 surveys were removed due to incomplete answers on the questionnaires. As a result, 157 surveys samples were used in the analysis of the study representing 54% for those surveyed.

Results
The results of the study indicated that the perceptions of accounting students in both groups are in line with Kohlberg’s Theory of Moral Development. A comparison of the means of respondents reporting that accounting students understand their responsibilities and the consequences of unethical issues were. Similarly, the majority of respondents in both groups reported that no one should ever compromise ethical standards in the workplace because of what peer’s feel is the acceptable norm. Additionally, there was an overwhelming response about maintaining ethical standards in both groups. The majority of both groups were strongly in favor to the concept of being accountable to documenting the findings, meet with a manager, and assemble and collect all pertinent documents. Overall, the findings of our research indicated that the responses of the majority of the students in both groups in this study are in line with Kohlberg’s theory of
moral reasoning.



Conclusion And Implications
The focus of the study was to evaluate the perception of ethical behavior among students in the 5-year accounting program compared with students who were not and their view on the accounting profession in the 21st century and beyond. The researchers of this study also revealed that accounting students surveyed in this paper are in line with Kohlberg’s moral reasoning. Overall, accounting studentsa re more likely to be aware of the importance of ethical behavior as a result of the demise of large corporations and the ripple effect of these catastrophes on the economy. Based on the findings and conclusion of this research, it is suggested that business school programs especially accounting, should continue to emphasize ethical and moral issues into their respective programs. Accounting professors should devote more time raising the awareness of ethics and ethical issues in the classrooms.


References
Babin, B. J., Griffin, M, & Boles, J.S. 2004. Buyer reactions to ethical beliefs in the retail environment. Journal of Business Research, 57(10), 1155-1163.
Bierstaker, J. L., Howe, M. A., & Seol, I. 2005. The effects of the 150-Credit-Hour requirement for the Certified Public Accountant (CPA) Exam on the Career Intentions of Women and Minorities. Journal of Education for Business, 81(2), 99-104.
Carmichael, D. R. 2004. The PCAOB and the Social Responsibility of the Independent Auditor. Accounting Horizons, pp. 127-133.
Clikeman, P. M. 2003.. Educating for the public trust. CPA Journal. 73(8), 80.
Coates, J. C. I. V. 2007. The goals and promise of the Sarbanes-Oxley Act.
Journal of Economic Perspectives, 21(1), 91-116.
Cunningham, C. 2006. The Enron Trial and Its Link to Sarbanes-Oxley. Financial Executive, 22(2), 6-6.
Dellaportas, S. 2006. Making a difference with a discrete course on accounting
ethics. Journal of Business Ethics, 65(4), 391-404.

Desplaces, D., Melchar, D., Beauvais, L., & Bosco, S. 2007. The Impact of Business Education on Moral Judgment Competence: An Empirical Study.
Journal of Business Ethics, 73-87.
Earley, C. E., & Kelly, P. T. 2004. A Note on Ethics Educational Interventions in an Undergraduate Auditing Course: Is There an "Enron Effect"? Issues in Accounting Education, 19(1), 53-71.
Esmond-Kiger, C. 2004. Making ethics a pervasive component of accounting education. Management Accounting Quarterly, 5(4), 42-52.
Gilbert, J. 2003. A matter of trust. Sales and Marketing Management, 155(3), 30-35.
Harrington, C., & Moussalli, S. 2005. The accounting profession: looking ahead.
Journal of Accountancy, 200(4), 43-72.
Koestenbaum, P., Keys, P, J. & Weirich, T., R. 2005. Integrating sarbanes-oxley,
leadership, and ethics. The CPA Journal, 75(4), 13-15. Retrieved
December 26, 2007, from ABI/INFORM Global database.
Kohlberg, L. 1968. Early education: A cognitive-development view. Child Development. 39(4), 1013-1063.
Kohlberg, L. 1969. Stages in the development of moral thought and action. New York: Holt, Rinehart & Wiinston.
Kohlberg, L. 1976. Moral stages and moralization: The cognitive developmentapproach. In T. Lickona (Ed.), Moral development and behavior (pp. 31-55). New York: Holt Rinehart & Wiinston.
Malone, F. L.2006. The ethical attitudes of accounting students. Journal of the
American Academy of Business, 8(1), 142-146. Cambridge.
Neese, W. T., Ferrell, L., & Ferrell, O.C. 2005. An analysis of federal mail and
wire fraud cases related to marketing. Journal of Business Research 58(6), 910-918.
Pitta, D. A., Fung, H., & Isberg, S. 1999. Ethical issues across cultures:
Managing the differing perspectives of China and the USA. The Journal of Consumer Marketing, 16(3), 240-253.
Koumbiadis & Okpara156
Puxty, A., Sikka, P., & Willmott, H. 1994. Reforming the circle: education, ethics
and accountancy practices. Accounting Education, 3(1), 77.
Rau, S. E., & Weber, J. 2004. The impact of the Enron mega-event on auditors'
moral reasoning. Journal of Accounting & Finance Research, 12(6), 106-119.
Read, W. J., Raghunandan, K., & Brown, C. 2001. 150-hour preparation
improves CPA exam performance. CPA Journal, 71(3), 31.
Reckers, P. M. J. 2006. Perspectives on the Proposal for a Generally Accepted
Accounting Curriculum: A Wake-Up Call for Academics. Issues in Accounting Education, 21(1), 31-43.
Rest, J. 1986. Moral development: Advances in research and theory. New York: Praeger.
Ritter, B. 2006. Can Business Ethics be Trained? A Study of the Ethical
Decision-making Process in Business Students (No. 68): Springer Science & Business Media B.V.
Roman, S., & Ruiz, S. 2005. Relationship outcomes of perceived ethical sales behavior: The customer’s perspective. Journal of Business Research,58(4), 439-445.
Taylor, V. A., & Rudnick, M. 2005. Accounting education: designing a curriculum for the 21century. Journal of American Academy of Business, Cambridge, 6(2), 321-323.
Venezia, C. C. 2005. The ethical reasoning abilities of accounting students. The Journal of American Academy of Business, 6 (1). 200-207. Cambridge.
Victor, B., & Cullen, J. B., 1988. The organizational bases of ethical work climates. Administrative Science Quarterly, 33, 101-125.
Weeks, W. A., & Nantel, J. 2004. Corporate codes of ethics and sales force behavior: A case study. Journal of Business Ethics, 11(10), 753-860.
Whitley, J. 2006. SEC and PCAOB to host may roundtable. Internal Auditor,63(2), 21-21.



TERJEMAHAN



International Review of Business Research Papers
Vol.4.No.5. October-November2008 Pp.147-156
Ethics and Accounting Profession: An
Exploratory Study of Accounting
Students in Post Secondary
Institutions 

Pengantar 
Dikenal skandal dari salah satu perusahaan akuntansi utama terkemuka di  Amerika Serikat Arthur Andersen ditambah dengan tuduhan tindakan tidak etis  dilakukan oleh Enron, Adelphia Communications, Dynegy, WorldCom,  dan Tyco telah membangkitkan kesadaran masyarakat dan stakeholder terhadap penurunan moral dan postur tidak etis. akuntan publik  meluncurkan penurunan penalaran moral dan standar etika publik
akuntan (Dellaportas, 2006; Esmond-Kiger, 2004). Hasil  perilaku yang tidak etis antara akuntan publik telah mengharuskan  perubahan dalam cara tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas  pendidikan di kurikulum akuntansi (Desplaces, Melchar, Beauvais, & Bosco, 2007). 
Koumbiadis & Okpara 
Sebuah penyelidikan pada topik ini mengungkapkan bahwa penelitian kecil telah dilakukan pada masalah ini dan tidak ada sama sekali pada persepsi etis mahasiswa akuntansi  tentang perubahan mandat baru dalam kurikulum akuntansi oleh  American Institute Akuntan Publik (AICPA) (Taylor & Rudnick, 2005, Ritter, 2006). Revisi dalam kurikulum akuntansi diamanatkan oleh (AICPA) menambahkan 150 - kredit aturan yang telah diadopsi oleh 43 negara bagian di Amerika (Taylor & Rudnick, 2005). Aturan 150-jam mengharuskan siswa untuk menyelesaikan 150-jam kredit dalam rangka untuk duduk pada Akuntan Publik Bersertifikat (BPA) ujian.Aturan ini telah meningkatkan  kekhawatiran mengenai efektivitas dan kebutuhan perubahan kurikulum oleh  AICPA (Bierstaker, Howe, dan Seol, 2005). Tujuan keseluruhan AICPA adalah untuk  meningkatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan publik sejak bisnis  lingkungan sering berubah dan permintaan untuk akuntansi etika, audit, dan jaminan pelayanan dalam pelaporan keuangan dilakukan. Demikian pula,  penurunan perilaku etis dari beberapa auditor eksekutif kunci dan publik pelaporan keuangan korporasi dipimpin Kongres untuk lulus 2002 Sarbanes-Oxley Undang-Undang. Penting untuk pembentukan Sarbanes-Oxley adalah penciptaan Perusahaan Akuntan Publik Dewan Pengawas (PCAOB) untuk melindungi investor dan memulihkan kepercayaan publik dalam CPA. Yang ditetapkan auditor PCAOB untuk memerangi perilaku tidak etis dari kantor-kantor perusahaan yang melakukan penipuan (Coates, 2007). 
Mengingat perubahan baik oleh Kongres dan AICPA, ada tumbuh keprihatinan untuk memahami persepsi mahasiswa akuntansi mengenai hal ini baru persyaratan yang diberlakukan oleh AICPA (Reckers, 2006).Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa persepsi penalaran etis di kalangan akuntansi siswa dalam program 150-kredit dibandingkan dengan semester 120-125 masa lalu jam. Penelitian ini akan menggunakan tahapan dari teori kognitif moral yang  penalaran dan pengembangan moral Kohlberg (1969) sebagai dasar untuk ini  penelitian. Peneliti akan menjelaskan setiap tahap dan menunjukkan hubungannya dengan  siswa pengembangan dan penalaran moral. Berdasarkan (1976) teori Kohlberg  penalaran moral kognitif dan perkembangan moral penulis mengeksplorasi  akuntansi yang berlaku kurikulum di lembaga-lembaga sekunder pos dan pengaruh mereka pada penalaran moral. 
Penyimpangan etika antara akuntan publik telah mengharuskan suatu revisi atas  akuntansi kurikulum (Earley & Kelly, 2004). Menariknya, siswa yang  terdaftar sebagai jurusan akuntansi dihadapkan dengan tantangan baru dalam profesi sebagai akibat dari debacles perusahaan besar (Puxty, Sikka, & Willmott, 1994). Tantangan yang dalam etika, persyaratan pendidikan, 2002 sesuai dengan Sarbanes-Oxley Act, dan tanggung jawab profesional dengan profesi akuntansi (Malone, 2006). Menurut Koestenbaum, 
Kunci, dan Weirich (2005), "para pemimpin bisnis adalah produk dari sekolah bisnis 
yang sering mengajarkan bahwa uang selalu datang sebelum etika "(hal. 13) Studi. telah  menunjukkan bahwa tenaga kerja dan pasar modal hari ini untuk mahasiswa akuntansi yang  bercita-cita untuk menjadi tempat CPA tuntutan lebih pada profesi sebagai akibat dari  perilaku tidak etis oleh perusahaan publik (Harrington & Moussalli, 2005). 
Selain itu, Koestenbaum, et al (2005), melaporkan bahwa "kurangnya kepercayaan pada  pelaporan keuangan telah menjadi faktor yang berkontribusi pada perlambatan terbaru di AS  pasar modal "(hal. 13). Akibatnya, intervensi pemerintah baru  dan regulasi telah menyebabkan penciptaan dan undang-undang tahun 2002 Sarbanes-Oxley , Bertindak untuk mengatasi konsekuensi penting dari perilaku tidak etis dalam pelaporan keuangan  oleh perusahaan dan akuntan independen (Koestenbaum, et al, 2005; Cunningham, 2006). Undang-undang ini memungkinkan Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) untuk menegakkan aturan baru untuk perusahaan publik yang akan diselenggarakan sesuai dengan tahun 2002 Sarbanes-Oxley Act.  Undang-undang ini meliputi 11 judul yang mewakili baru persyaratan untuk perusahaan-perusahaan bagaimana publik diselenggarakan laporan laporan keuangan. Para  judul pertama dari 2002 Sarbanes-Oxley Act adalah pembentukan PCAOB.  Misi dari PCAOB adalah untuk mengawasi CPA terlibat dalam audit laporan keuangan perusahaan publik untuk memastikan terhadap perilaku tidak etis di  keliru informasi keuangan (Whitley, 2006; Coates, 2007). Para  keliru dari laporan keuangan misconducts tidak etis di masa lalu BPA yang dihasilkan beberapa kurangnya kepercayaan dalam BPA oleh publik, investor,  dan ekonomi secara keseluruhan (Rau & Weber, 2004) Oleh karena itu,. misi  PCAOB adalah untuk memulihkan kepercayaan publik di BPA (Carmichael, 2004). Sementara  penelitian tentang persepsi mengevaluasi etika individu telah dilakukan di  lulus (Kohlberg, 1967; Istirahat, 1970; Victor & Cullen, 1989) telah ada sedikit  penelitian tentang persepsi etika di kalangan mahasiswa akuntansi yang menyelesaikan  150 kredit yang memutuskan apakah mengerucutkan gelar master atau 30 tambahan kredit. 
Oleh karena itu, ada kekhawatiran, apakah perubahan diamanatkan oleh  AICPA dalam kurikulum akuntansi telah mempengaruhi persepsi etis dari  jurusan akuntansi.  Penelitian ini akan memungkinkan penulis untuk mengevaluasi persepsi perilaku etis  antara siswa di program akuntansi 5-tahun dan pandangan mereka pada akuntansi profesi di abad 21 dan seterusnya. Penelitian ini mengeksplorasi  tahap teori perkembangan moral Kohlberg oleh (1969) dan berhubungan satu sama  tahap yang mengarah ke kemajuan siswa dalam penalaran moral-nya. Kohlberg (1969) bekerja pada perkembangan moral didorong oleh psikolog Jean Piaget; terkenal untuk karyanya pada perkembangan kognitif. Kohlberg (1968) menguraikan tentang 
Piaget penelitian dengan menghadirkan urutan tahap individu yang membentuk 
nurani dari remaja menjadi dewasa. Berdasarkan (1968) teori Kohlberg perkembangan moral penulis mengeksplorasi kurikulum akuntansi saat ini di  lembaga pasca sekunder dan pengaruh mereka pada penalaran moral. Baru-baru ini, perubahan dalam persyaratan pendidikan untuk mahasiswa akuntansi yang ingin duduk  untuk ujian CPA sekarang harus memiliki 150 jam semester dibandingkan dengan lulus 120  semester jam (Baca, Raghunandan, & Brown, 2001). Termasuk dalam 150  jam semester adalah seperangkat program, yang menggabungkan etika profesional dan  profesional tanggung jawab. Menurut Jones (2004), "etika profesional nilai-nilai moral bahwa sekelompok orang menggunakan untuk mengontrol cara mereka melakukan tugas atau menggunakan sumber daya "(hal. 48).. Salah satu tujuan set keempat oleh American 
Institut Akuntan Publik (AICPA), yang memelihara dan membuat  wajib kode etik profesional untuk akuntan publik, untuk memperbesar  persyaratan pendidikan. Tujuan keseluruhan AICPA adalah untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan publik karena lingkungan bisnis  sering berubah dan permintaan untuk jasa akuntansi dan jaminan. 
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi persepsi etika  perilaku di kalangan siswa di program akuntansi 5-tahun. 
Pertanyaan Penelitian 
1. Untuk apa Sejauh mana persepsi mahasiswa akuntansi entry level sejalan dengan Teori Kohlberg Perkembangan Moral? 
2. Apakah perubahan kurikulum AICPA diamanatkan berdampak pada etika  persepsi mahasiswa akuntansi? 
Tinjauan Literatur 
Beberapa studi telah muncul pada siswa akuntansi dan persepsi mereka tentang etika perilaku dan kemampuan mereka untuk alasan moral dan etis di tengah perusahaan  skandal. Malone (2006) melakukan penelitian yang mengukur sikap etis dari mahasiswa akuntansi dalam lingkungan yang akrab bagi siswa.Malone (2006) mengamati siswa menggunakan Mendefinisikan Masalah Test (Dit) (Istirahat, 1986) instrumen untuk mengukur tahap-tahap perkembangan moral.Hasil penelitian ini  menemukan bahwa jika bahaya itu datang ke diri sendiri dan orang lain sebagian besar siswa akan  tidak menyerah terhadap perilaku tidak etis. Khususnya, temuan menyarankan bahwa moral yang perilaku mahasiswa hari ini akan berlanjut di masa depan ketika digunakan.  (1969)  penelitian Kohlberg pada perkembangan moral kognitif diukur dalam  serangkaian tahapan yang dimulai dari remaja ke dewasa. Dia menjelaskanbagaimana 
kemampuan orang untuk alasan dalam masyarakat dilakukan dengan berinteraksi dengan seseorang  sekitarnya. Dia digambarkan bahwa penalaran moral etika dan dipelajari pada awal  kehidupan dan kemajuan secara bertahap sebagai orang-orang berkembang menjadi dewasa. Menurut Istirahat, Elliot, Kohlberg (1969) ada enam tahapan perkembangan moral: 
1. Tahap satu adalah ketaatan dan orientasi hukuman. 
2. Tahap kedua adalah orientasi naif egoistik. 
3. Tahap ketiga adalah orientasi anak yang baik, orientasi terhadap persetujuan dan 
menyenangkan dan membantu orang lain. 
4. Tahap empat adalah terkait dengan kewenangan dan orientasi mempertahankan tatanan sosial, orientasi untuk "melakukan tugas" dan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap otoritas dan  memelihara tatanan sosial yang diberikan untuk kepentingan sendiri. 
5. Tahap lima adalah kontrak orientasi tugas, legalistik didefinisikan dalam hal kontrak menghindari, secara umum pelanggaran terhadap kehendak atau hak orang lain, dan 
mayoritas akan dan kesejahteraan, dan 
6. Tahap keenam adalah hati nurani atau prinsip orientasi, orientasi tidak hanya untuk 
sebenarnya ditahbiskan aturan sosial tetapi untuk prinsip-prinsip pilihan melibatkan banding ke  universalitas dan konsistensi logis (Kohlberg, 1969). 
Istirahat et al, (1986). Mencatat bahwa "tahap enam dipandang sebagai pembentukan invarian 
perkembangan urutan di mana pencapaian stadium lanjut tergantung pada pencapaian masing-masing tahapan sebelumnya "(p.226)..Berdasarkan Kohlberg Penalaran Moral teori kognitif, Victor dan Cullen (1988) digunakan berbeda pendekatan untuk mengukur penalaran dengan memeriksa iklim etis organisasi. 
Dalam kasus yang melibatkan Enron, Kelly dan Awal (2003) menunjukkan bahwa "negatif aspek iklim etis atau budaya dalam Andersen memainkan peran penting dalam 
nya kematian "(hal.  12). Bukti tambahan mengungkapkan bahwa kemampuan perusahaan untuk mempertahankan budaya perusahaan etis adalah penting untuk produktivitas, daya tarik dan retensi karyawan serta pelanggan organisasi.  "Akuntan pelanggaran telah menyebabkan intervensi pemerintah, dan kehilangan dari  kepercayaan publik "(Chan, Leung, 2006, hal 436). 
Kuesioner Iklim Etis (ECQ) menggunakan pendekatan dua dimensi yang mengakui iklim etika internal organisasi. Dimensi pertama adalah dicirikan oleh kriteria etis yang terdiri dari diri dalam egoisme, kebajikan, dan prinsip yang digunakan dalam sebuah organisasi. Dimensi kedua sesuai dengan dengan Lokus Analisis, yang ditunjukkan pada Gambar 1, dan didefinisikan oleh Victor dan Cullen (1988) sebagai "sebuah kelompok rujukan yang mengidentifikasi sumber penalaran moral digunakan untuk menerapkan penalaran etis untuk keputusan organisasi "(hal. 105). 
Praktik yang tidak etis akan mempengaruhi bisnis dalam beberapa cara. Pertama, konsumen cenderung untuk menghindar dari produk dan jasa dari organisasi yang tidak etis reputasi (Gilbert, 2003; Babin et al, 2004;. Romawi & Ruiz, 2005); mempengaruhi 
bisnis saat ini dan masa depan menyakiti nilai organisasi.Kedua, beberapa  praktik yang tidak etis juga ilegal atau penipuan, akibatnya meningkatkan keuangan organisasi risiko, kewajiban, dan biaya (Neese et al., 2005). Ketiga, iklim etis memiliki efek luas pada karyawan melalui tingkat tinggi  tempat kerja stres, kepuasan kerja rendah, kinerja rendah, dan turnover tinggi (Minggu & Nantel, 2004). 
Dellaportas (2006) berpendapat bahwa siswa akuntansi mungkin alasan yang lebih etis 
melalui intervensi pada kursus khusus tentang etika akuntansi.Hasil  Studi Dellaportas 'mengungkapkan bahwa akuntansi siswa melalui intervensi merespon lebih positif untuk penalaran moral menggunakan serangkaian pertanyaan tentang dilema dasar Kohlberg teori perkembangan moral. Selanjutnya, kesadaran moral penalaran dapat dirangsang oleh kurikulum dan karena itu dianjurkan. Dalam studi banding yang dilakukan oleh Venezia (2005), menunjukkan bahwa penalaran etis kemampuan mahasiswa akuntansi tergantung pada orientasi budaya siswa. Venezia (2005) Temuan ini sejalan dengan hasil Pitta dkk., (1999) yang menyatakan bahwa budaya nasional membentuk dasar dari perilaku etis dari mahasiswa akuntansi disurvei dalam studi mereka. Venezia disurvei siswa menggunakan Mendefinisikan Isu Test (Dit) instrumen untuk membandingkan mahasiswa akuntansi dari Taiwan untuk Amerika Serikat dan menentukan apakah budaya memainkan peran penting pada perkembangan moral. Hasil penelitian ini menunjukkan Venezia signifikan perbedaan antara AS dan Taiwan etika mahasiswa akuntansi kemampuan penalaran. 
Selain itu, Clikeman (2003) membahas pentingnya pendidik akuntansi untuk mempromosikan standar etika bagi mahasiswa akuntansi.Yang Clikeman (2003) menyatakan gagasan bahwa mahasiswa akuntansi dengan standar etika akan mencegah masa depan skandal akuntansi. Penelitian itu menunjukkan bahwa Clikeman, "pendidikan akuntansi tidak sikap profesional mempengaruhi siswa '"(Clikeman, 2003, P80.) ini pernyataan adalah hasil dari dia dan seorang rekan dilakukan pada tahun 2000 menggunakan sampel dari 164 mahasiswa akuntansi terdaftar di Southern Methodist University. 

Metodologi 
Hipotesis Penelitian 
1.  Siswa yang belum diambil pameran kurikulum AICPA diamanatkan persepsi yang berbeda etika 
2. Siswa yang telah diambil pameran kurikulum AICPA diamanatkan persepsi yang berbeda etika 

Instrumen Penelitian 
Sebuah kuesioner diadaptasi dari Teori Kohlberg Pengembangan Moral berisi tiga skenario yang terdiri dari beberapa pertanyaan pada penalaran etika dibagikan kepada siswa yang terdaftar dalam kursus akuntansi di swasta dan publik universitas di New York City. Instrumen yang digunakan adalah Victor dan yang Cullen Kuesioner Iklim Etika (ECQ), yang diadaptasi dari enam tahapan dalam Kohlberg teori tentang perkembangan moral. Subjek dipilih secara acak dari suatu daftar kehadiran perguruan tinggi swasta dan publik.Kuesioner diadministrasikan selama waktu kelas dan membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk menyelesaikan. 

Pengumpulan Data 
Set berikutnya pertanyaan yang diajukan peserta untuk membaca skenario tentang  rekan kerja yang sering membuang sumber daya (misalnya, alat tulis, pena, dll) dari 
kantor untuk penggunaan pribadi mereka. Peserta merespons dengan menunjukkan baik "Ya" atau "tidak" dan bertanya apakah mereka akan menghadapi atau menghindari individu. Para pilihan disertakan,a) harus aturan dilanggar, b) perbedaan antara apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari pekerjaan Anda atau apa yang Anda tahu rekan-rekan Anda merasa Anda harus lakukan, dan c) apa yang keseluruhan sikap Anda terhadap perilaku tidak etis. Bagian terakhir dari pertanyaan menggunakan skala Likert mulai dari sangat tidak menguntungkan bagi konsep 
(1) untuk sangat menguntungkan dengan konsep (5). Para 125 peserta diminta untuk 
fokus pada apa saran dapat dibuat dengan beberapa rekomendasi tentang bagaimana untuk  penurunan perilaku etis antara rekan-rekan dan pelaporan penipuan. Pilihan  terdiri dari a) mendokumentasikan temuan, b) bertemu dengan manajer, c) merakit dan mengumpulkan semua dokumen yang bersangkutan, dan d) melakukan apa-pa.  Penulis utama melakukan survei di distribusi instrumen dalam baik swasta dan 
publik universitas. Dari 300 survei diberikan, total 180 menunjukkan kepentingan untuk merespon. Sebanyak 23 survei dihapus karena tidak lengkap jawaban di kuesioner. Akibatnya, 157 survei sampel yang digunakan dalam analisis studi yang mewakili 54% untuk mereka yang disurvei. 

Hasil 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa akuntansi dalam kedua kelompok ini sejalan dengan Teori Kohlberg Perkembangan Moral. Sebuah perbandingan sarana responden melaporkan bahwa mahasiswa akuntansi memahami tanggung jawab mereka dan konsekuensi dari masalah etis itu. 
Demikian pula, mayoritas responden di kedua kelompok melaporkan bahwa tidak ada yang harus pernah mengkompromikan standar etika di tempat kerja karena apa yang rekan rasakan adalah norma yang dapat diterima. Selain itu, ada tanggapan yang luar biasa tentang mempertahankan standar etika pada kedua kelompok.Mayoritas dari kedua kelompok sangat mendukung dengan konsep yang bertanggung jawab untuk mendokumentasikan temuan, bertemu dengan seorang manajer, dan merakit dan mengumpulkan semua dokumen yang bersangkutan. 
Secara keseluruhan, temuan dari penelitian kami menunjukkan bahwa tanggapan mayoritas dari siswa di kedua kelompok dalam penelitian ini adalah sejalan dengan teori Kohlberg penalaran moral.

Kesimpulan Dan Implikasi 
Fokus penelitian ini adalah untuk mengevaluasi persepsi perilaku etis antara siswa dalam program akuntansi 5-tahun dibandingkan dengan siswa yang tidak dan melihat mereka pada profesi akuntansi di abad 21 dan seterusnya. Para peneliti dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa akuntansi siswa yang disurvei dalam hal ini kertas sejalan dengan penalaran moral Kohlberg. Secara keseluruhan, akuntansi siswa lebih cenderung untuk menyadari pentingnya perilaku etis sebagai akibat dari runtuhnya perusahaan-perusahaan besar dan efek riak bencana-bencana pada  perekonomian. Berdasarkan temuan dan kesimpulan dari penelitian ini, menyarankan bahwa bisnis program sekolah terutama akuntansi, harus terus untuk menekankan masalah etika dan moral ke dalam program masing-masing. Akuntansi profesor harus meluangkan lebih banyak waktu meningkatkan kesadaran etika,